Regulasi EBT Belum Pro Investasi
Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris (tengah) foto bersama dengan stakeholder PT UPC Renewables, foto : anne/hr
Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris menilai regulasi terkait pengembangan pembangkit listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) belum sepenuhnya mendukung percepatan investasi EBT dalam negeri.
Demikian diungkapkannya usai kunjungan spesifik Komisi VII DPR RI yang dipimpin
Wakil Ketua Komisi VII Satya Yudha ke proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Kamis (1/2/2018).
“PLTB ini merupakan pertama kalinya di Indonesia dalam skala besar. Tentunya, kita harapkan ini akan menjadi contoh ke depan. Hanya saja, pemerintah harus melihat kembali kebijakannya apakah sudah cukup mendukung para investor untuk menginvestasikan uangnya untuk membangun energi baru, termasuk angin dan arus laut. Ini sebenarnya banyak potensinya di Indonesia, " papar Andi Yuliani.
Politisi Fraksi PAN ini mengatakan, regulasi yang pro investasi dibutuhkan agar tarif listrik EBT semakin kompetitif. Mengingat, harga EBT relatif mahal dibandingkan harga jual listrik dari energi fosil, seperti batubara dan gas.
“Kita bandingkan di Qatar atau Singapura, untuk membangun energi harus ada insentif pajak. Jadi, investor yang mau menginvestasikan uangnya untuk membangun energi yang ramah lingkungan, pertama dapat kebijakan pajak, keringanan bunga bank, kemudian lahannya dipinjamkan pemerintah. Sehingga tidak perlu membeli tanah. Harus ada afirmasi yang dilakukan pemerintah supaya harganya murah,” jelasnya.
Politisi dari dapil Sulsel II ini juga mendorong pemerintah agar lebih konsisten dalam mengembangkan EBT di tengah semakin tingginya kebutuhan energi di masyarakat. Untuk itu, Kementerian ESDM harus mempunyai data kebutuhan energi di sektor industri dan rumah tangga. Mengingat, lanjutnya, pemerintah sudah mempunyai 70 kontrak baru terkait EBT dalam program 35.000 MW.
“Data ini diperlukan supaya kita tahu forecasting untuk energi ke depan, misalnya dalam proyek 35 ribu MW itu demand-nya dimana. Ini terkait dengan industri kecil di beberapa provinsi, tentu kebutuhan energinya tidak sama,” imbuhnya. (ann/sf)